Cerpen : Bola Mata Jalang

Malam saat itu terasa begitu dingin dan sepi, saking sepinya sampai aku mampu mendengarkan suara detak jarum jam dengan sangat jelasnya. Aku menengok jam dinding warna merah bergambar skuad manchester united yang terpasang rapi di dinding kamar kosanku, saat itu kulihat jarum pendek dengan gagah menunjuk sebuah zona kosong, zona yang terletak antara angka 1 dan 2, sedangkan jarum panjang dengan penuh rasa malu menunjuk angka 6.

Pandanganku kembali tertuju pada layar komputerku, kutatap dengan cermat job desain annual report sebuah perusahaan seluler yang baru bisa aku selesaikan 6 halaman dari total 60 halaman yang harus aku selesaikan. Jenuh memang, namun bagaimana lagi, job ini sudah kadung aku tandatangani kontraknya, uang mukanya pun sudah aku terima, jadi mau tak mau, aku harus menyelesaikan job annual report ini. Bagaimanapun caranya.

Kucoba untuk sedikit menghilangkan rasa jenuhku dengan me-minimize job annual report ini dari layar komputerku, kursor mouse-ku kini beralih ke Data D, dan terus menjelajahi isi Folder ini sampai akhirnya berlabuh di sebuah Sub Folder bernama ‘Tugas Excel’, Folder ini tidak berisi tugas-tugas Excel seperti nama foldernya, namun berisi Film-film porno yang aku koleksi dan selalu aku tonton dikala aku sedang berada dalam kejenuhan. Adapun Nama nama Folder ini memang aku sengaja samarkan agar tidak dibuka sembarangan oleh orang lain.

Aku mulai memutar video-video seronok itu, kuputar satu per satu dengan media player classic-ku yang selalu setia menemani mataku untuk bermaksiat, Pelan namun penuh perasaan, kuarahkan kursos mouse ka arah tombol ‘play’, dan akupun mulai menikmati adegan-adegan panas yang dimainkan dengan sangat sempurna dan vulgar oleh Carmella Bing, salah satu artis porno amerika idolaku, Aku tak bosan terus menerus melihat aksi panas ala ranjang yang diperankan oleh Carmella Bing, walaupun aku sudah berkali-kali melihatnya, namun tetap saja aku menikmatinya. Bahkan salah satu videonya yang berjudul “Carmella Bing vs Monique Fuentes, Mature and Hot Housewife scandals” selalu menjadi video pertama yang wajib aku tonton di saat aku sedang ‘panas-panasnya’.

Tapi Malam ini terasa begitu lain, rasa jenuhku tidak hilang walaupun aku sudah berusaha menonton beberapa film, sungguhpun aku begitu menikmati permainan Carmella Bing, padahal biasanya, dengan menonton satu film-pun, aku sudah mampu menghilangkan rasa jenuhku ditambah dengan bertambahnya beberapa butir inspirasi yantg masuk ke otakku. Dan aku langsung mengambil vonis, ini bukan kesalahan Carmella Bing yang tampil kurang memukau, tapi mungkin ini adalah hidayah untukku agar aku tidak menghilangkan rasa jenuh dengan menonton keindahan serta kemolekan tubuh wanita tanpa busana. Mungkin Tuhan menyuruhku untuk menghilangkan rasa jenuh dengan cara lain.

Satu-satunya cara yang aku anggap sangat cocok saat itu sebagai alternatif lain penghilang jenuh adalah dengan menghirup angin malam di remang-remang kota Yogyakarta sambil bersepeda.

Akupun keluar dari kamarku dan langsung menuju ke garasi kosanku, kuambil sepeda onthel tua gazelle buatan tahun 1905 yang konon katanya asli dari negeri kincir angin sana. Sepeda Onthel ini aku dapat dulu dari pamanku yang kebetulan punya dua sepeda onthel kuno, karena terlalu susah untuk merawat dua sepeda onthel sekaligus, maka satu buah onthelnya direlakan untuk aku beli, tentunya dengan harga saudara.

Pelan, aku kayuh sepeda onthelku yang sudah sangat terlihat gurat-gurat ke-kuno-annya namun tetap masih gagah itu. Kutelusuri sepanjang jalan malioboro dan ahmad yani dengan sepeda onthelku, satu arah tujuanku, Alun-alun kidul Yogyakarta yang lebih populer dengan nama singkatan Alkid, disanalah tempat aku biasa menghabiskan waktu malam minggu bersama teman-temanku.

Jarak antara kos-kosanku dengan alun-alun Yogyakarta sekitar 5 kilometer, jika diasumsikan kecepatan rata-rata sepeda onthel adalah 15 km per jam (tanpa memperhitungkan accelerasi, tanjakan, dan tekanan angin), jadi perjalanan saya dari rumah sampai ke alun-alun kota adalah sekitar 20 menit, dan memang itulah kenyataanya.

Setelah sampai di alun-alun, aku langsung memarkir sepeda tuaku di dekat pohon beringin tua yang ada persis di tengah-tengah alun-alun, Setelah itu aku duduk sambil menikmati indahnya malam kota Jogja, penuh dengan hura-huranya, penuh dengan suasana jawanya, dan penuh dengan keramah-tamahan penduduknya. Mataku mencoba menjelajahi sekeliling, berharap masih ada penjual makanan yang masih bersedia untuk aku beli jajanannya. Dan ternyata mataku ini masih sangat tajam, dari kejauhan, kulihat ada lapak pedagang sate kelinci yang masih buka. Aku pun menghampiri lapak tersebut dan berharap sate kelincinya belum habis.

“Satenya masih bu?” tanyaku pada seorang wanita yang aku vonis sebagai penjual sate tersebut, karena memang hanya dialah wanita yang berada di balik alat pembakaran sate kelinci di lapak tersebut”

“masih mas, mau beli berapa?” jawabnya disertai dengan pertanyaan balasan

“dua puluh ribu saja buk, ndak pake lontong, cabenya dibanyakin dikit” jawabku singkat dan padat.

“dimakan disini ata mau dipincuk (dibungkus daun)?”

“ dipincuk saja bu, ini uangnya, tak tunggu di deket ringin tengah yo bu!”

“Injih mas, monggo ditunggu,” jawab ibu itu sambil tangannya sigap mengambil uang dua puluh ribuan yang aku taruh di meja jualan sate.

Aku pun kemblai ke ringin tengah, kulanjutkan dudukku memandangi gerbang keraton Ngayogyokarto hadiningrat sambil menunggu sate kelinci pesananlu segera datang. 10 menit berlalu aku menunggu, dan sate yang aku pesan pun diantarkan.

“Monggo mas satenya,” kata ibu penjual itu penuh senyum sambil menyerahkan bungkusan sate kelincinya padaku.

“Nggih buk, matur suwun” jawabku sambil tersenyum pula, namun dengan senyuman yang dibuat-buat, mencoba untuk membalas senyum ibu penjual sate itu yang menurut saya juga sedikit dibuat-buat.

Kini aku tidak sendirian memandangi malam kota jogja, kini sudah ada sepuluh tusuk sate kelinci yang menemaniku, kunikmati sensasi rasa sate kelinci itu dengan penuh penghayatan.

Kurasakan sate kelinci itu renyah di mulut, terutama di bagian tepi dagingnya yang agak keras karena terlalu lama terkena pembakaran. Namun justru itulah letak kerenyahannya. Dagingnya lembut dan lebih mudah dikunyah, bila dibandingkan dengan daging ayam, kelembutan daging kelinci itu nilainya 130% (dengan koefisien kerenyahan daging ayam sebesar 100%).

Belum sempat aku habis 4 tusuk, tiba-tiba seorang pria tua datang menghampiriku, jika dilihat dari perawakannya, umurnya sekitar 70 tahun, tua memang. Aku bingung mengidentifikasin orang tua tersebut, awalnya aku mengira dia adalah seorang pengemis, namun ia tak meminta apapun dariku, jadi aku tahu, bahwa sebenarnya dia bukanlah pengemis, mungkin penduduk sekitar alun-alun yang sedang berusaha menikmati udara malam kota jogja, sama seperti diriku.

“Mau sate kelinci pak?” tawarku pada pria tua itu sambil menyodorkan tiga tusuk sate kelinciku pada pria tua itu, namun ia hanya diam, sambil tanganya digoyangkan kekiri dan kekanan, pertanda bahwa ia tidak mau sate yang aku tawarkan.

“Anak muda, saya sudah bosan dengan bola mataku ini,” katanya dengan tiba-tiba dan tanpa basa-basi apalagi perkenalan diri.

“bosan kenapa pak?” tanyaku mencoba untuk menanggapi walaupun sebenarnya aku kurang nyaman karena pria tua itu langsung mengajakku bercakap tanpa memperkenalkan dirinya dahulu.

“Aku bosan, karena bola mataku ini rasa-rasanya sudah terlalu banyak melihat hal-hal yang buruk, dengan bola mataku inilah aku melihat teman-temanku seperjuangan dulu ditembaki dengan kejam oleh tentara belanda, dengan bola mataku inilah aku melihat bagaimana dulu almarhum istriku diperkosa dengan kejam oleh rampok tanpa aku bisa berbuat apa-apa karena aku ditodong dengan golok, dengan bola mataku inilah aku melihat bagaimana anak-anakku durhaka kepadaku, dan dengan bola mataku ini pulalah aku melihat kemaksiatan-kemaksiatan di dunia ini” jawab pria tua itu sambil menitikkan air mata.

Aku hanya mengangguk sambil membayangkan betapa malangnya nasib pria tua yang ada di depanku ini. Sungguh kasihan, aku bisa memahami betapa dirinya terasa sangat tersiksa. Teman-temannya dibantai belanda, istrinya diperkosa, anak-anaknya pun durhaka.

“Pak, hidup ini memang penuh dengan kebaikan dan keburukan, kita tak akan selamanya berada di atas roda, terkadang kita harus berada di bawah roda. Masa lalu bapak mungkin adalah salah satu masa tersulit bagi bapak, tapi sekarang adalah sekarang pak, jangan jadikan masa lalu sebagai sebuah penyesalah, cukuplah masa lalu itu sebagai sebuah pelajaran berharga. Dan sekarang mulailah bapak menata hidup bapak menjadi hidup yang lebih baik, berdoalah kepada Tuhan agar teman-teman bapak seperjuangan dulu diberikan tempat yang layak atas amal-amalnya, berdoalah kepada Tuhan agar Tuhan mau mengangkat derajat istri bapak di Akhirat sana, dan berdoalah kepada Tuhan agar Tuhan mau sudi memberikan hidayahnya kepada anak-anak bapak agar mereka diberi kesadaran dan tidak lagi durhaka kepada bapak” Kataku pada pria tua itu.

Sungguh, aku belum pernah merasa sangat bijak dalam berkata selain kepada pria tua didepanku ini. Mulutku tiba-tiba saja bisa berkata demikian. Aneh tapi nyata. Aku seorang bujang yang gemar melihat gambar wanita telanjang ini mampu memberikan nasihat yang luar biasa bijak pada pria yang usianya jauh lebih tua dari diriku.

“Ya, benar sekali kata-katamu anak muda, tapi seandainya aku tahu akan mengalami nasib sepahit ini, aku lebih memilih tidak mempunyai bola mata ini agar aku tidak melihat kepahitan-kepahitan hidup seperti yang sudah aku alami ini” balas pria tua itu.

“Sabar dan tawakal saja pak, Saya Yakin, Allah tahu mana yang terbaik untuk bapak, “ kataku kembali pada pria tua itu.

“Saya pergi dulu pak, semoga bapak diberi kemudahan oleh Allah” pamitku pada pria tua itu, aku sengaja pergi karena ingin membiarkan bapak itu merenungi perkataanku dan berharap ia bisa sadar.

Aku mengambil sepeda onthelku yang terparkir tak jauh dari tempat aku duduk, dan mulai mengayuhnya lagi utnuk selanjutkan melanjutkan petualangan ‘gowes’ ku di tempat lain. Akupun meninggalkan pria tua itu sendirian di ringin alun-alun, sengaja aku tinggalkan 5 tusuk sate kalinciku, berharapa agar setelah aku pergi, ia sudi untuk memakannya.

Kukayuh sepedaku dengan mantap menuju tugu jogja, tempat favorit keduaku di jogja untuk menghabiskan waktu malam minggu, jaraknya sekitar 2 kilometer dari alun-alun. Namun baru sekitar setengah kilo aku mengayuh sepedaku, aku baru teringat bahwa dompetku masih tertinggal di alun-alun, di tempat aku duduk-duduk tadi dengan pria tua itu. Sepedaku langsung kuputar balik, dan kukayuh cepat kembali menuju alun-alun sambil berharap pria tua tadi tidak mengambil dompetku.

Setelah sampai di alun-alun, kulihat pria tua tadi sudah pergi, mataku pun bergerilnya mencari di sekitar. Dan aku langsung berbafas lega begitu tahu dompetku masih ada di sana, kuperiksa isinya masih utuh, kulihat bungkusan sate kelinci yang tadi kutingalkan untuk bapak tua itu, isinya sekarang tinggal dua tusuk, pertanda bahwa pria tadi mau memakan sate yang kutinggalkan, walau hanya dua tusuk.

Kuambil dompetku dan pergi meninggalkan alun-alun, namun belum sampai dua langkah aku berlalu, aku melihat benda aneh yang sangat mencurigakan. Bentuknya tak terlalu jelas, karena lampu alun-alun Jogja memang remang-remang. Sehingga mataku ini kurang dapat mengetahui benda apa itu, Akupun mengambil HP-ku dan menyalakan layarnya, kudekatkan Hpku ke arah benda itu dan berharap aku bisa tahu, benda apa itu.

Namun begitu HPku aku dekatkan, aku langsung terperanjat bukan main, jantungku berdebar dengan sangat kencang, ternyata benda itu adalah Dua buah bola mata manusia yang mungkin baru saja dicongkel, masih penuh dengan darah. Dan yang lebih membuat aku terperanjat adalah, masing-masing bola mata itu ditusuk dengan tusuk sate kelinci.



Senin, 05 Maret 2012

One response to Cerpen : Bola Mata Jalang

  1. Unknown mengatakan:

    semoga di Surga kelak, ang bapak tua tersebut kembali menemui mas Agus dan berbagi sate bersama...